Sejarah Perkembangan Tari Topeng di Cirebon



Cirebon memiliki empat puluh jenis kesenian, baik berupa kesenian tradisional maupun modern. Dengan menunjukkan adanya keanekaragaman jenis kesenian tersebut menandakanbahwa Cirebon merupakan kota seni dan budaya, namun dari keempat puluh jenis kesenian tersebut tidak sedikit yanghampir punah. Tari Topeng merupakan salah satu jenis kesenian tradisional Cirebon yang masih bertahan dari benturan kesenian-kesenian modern Tari Topeng Cirebon berasalh dari kata “tup” atau tutup. Kemudian kata ini ditambah suku kata “eng” sehingga menjadi tupeng, yang kemudian berubah menjadi “topeng”. Topeng berasal dari kata ping, peng, dan pung yang artinya melekat pada sesuatu dan ditekan rapat, asal yang sama juga dapat ditemukan dalam kata tepung, taping, damping. Kata lain arti topeng adalah kedok yang artinya dikenakan akan lengket dan yang memakainya menjadi pangling.

Tari Topeng merupakan tari tradisional rakyat Cirebon. Tarian ini ditampilkan dengan mengenakan topeng. Jenis tarian ini bisa dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Pulau Jawa dan Bali. Kisahnya berkisar dari cerita Ramayana dan Mahabarata. Pada abad ke-12 hingga ke-15, Tari Topeng pernah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Setelah kerajaan Majapahit runtuh, Tari Topeng mengalami kemunduran. Tari Topeng kemudian muncul lagi seiringdengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam.

Pertama kali topeng Cirebon diciptakan dalam rangka penyebaran agama Islam. Ketika itu di Krawang ada seorang yang memiliki kesaktian karena mempunyai pusaka Curug Sewu, orang tersebut bernama Pangeran Welang. Dengan kesaktiannya, ia ingin mengalahkan Sunan Gunung Jati dan Pangeran Cakrabuana di Keraton Cirebon. Sunan Gunung Jati menanggapi ancaman Pangeran Welang tidak dengan peperangan, melainkan dengan diplomasi kesenian. Ia membentuk kelompok kesenian dengan melakukanpertunjukan keliling dari satu daerah ke daerah lainnya. Di dalam kelompok kesenian tersebut Sunan Gunung Jatimenampilkan sang primadona Nyi Mas Gandasari, yang berperan sebagai penari dengan wajah menggunakan kedok (tutup muka). Adanya pertunjukan keliling tersebut terdengar pula oleh Pangeran Welang, ia menyaksikan keseniantersebut.

Melihat penampilan sang primadona, Pangeran Welang terpikat oleh kecantikan Nyi Mas Gandasari, ia pun meminangnya untuk dijadikan istri. Nyi Mas Gandasari menerima lamaran tersebut dengan syarat dilamar dengan pusaka Curug Sewu. Pangeran Welang menerima tawaran Nyi Mas Gandasari sambil menyerahkan pusaka Curug Sewu. Dengan diserahkan pusaka Curug Sewu tersebut kesaktian Pangeran Welang pun hilang, ia menyerah kepada Sunan Gunung Jati dan masuk Islam. Sunan Gunung Jati yang telah berhasil mengislamkan Pangeran Welang melalui pagelaran Tari Topeng tersebut, Tari Topeng kemudian menjadi jenis kesenian yang disukai masyarakat dan menjadi pementasan hiburan di Cirebon.

Pada masa Pemerintahan Sunan Gunung Jati, Tari Topeng pernah berjaya dan dapat merebut simpati masyarakat.Antusiasme masyarakat Cirebon sangat tinggi terhadap Kesenian Topeng, ketika topeng Cirebon dipentaskan, penonton tidak beranjak apabila pertunjukan belum selesai. Pertunjukan Topeng pada waktu itu tidak sebatas kedok Panji, Parmindo, Rumyang, Klana, Tumenggung dan Jianggaanom, namun pertunjukan disempurnakan dengan menambah kedokdari beberapa wayang kulit. Sajian yang ditampilkan diambil dari cerita drama Mahabarata dan Ramayana, sehingga sejak saat itulah dikenal dengan nama topeng kecil dan topeng besar.

Sunan Gunung Jati berhasil menjadikan Tari Topeng Cirebon sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam, dan mengislamkan masyarakat Cirebon dan sekitarnya bahkan mengalahkan Pangeran Welang hingga masuk Islam. Di samping itu Sunan Gunung Jati berhasil menjadikan Tari Topeng sebagai kesenian Keraton Cirebon yang diterima masyarakat. Pada tahun 1568, Sunan Gunung Jati sebagai penguasa Cirebon yang sekaligus sebagai penyebar agama Islam meninggal dunia dalam usia 120 tahun. Ia digantikan oleh Pangeran Emas, yang bergelar Panembahan Ratu. Sepeninggalnya Panembahan Ratu kemudian digantikan oleh Pangeran Seda ing Gayam yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Girilaya, semasa itu Cirebon menjalin hubungan baik dengan Mataram di bawah kekuasaan Sultan Amangkurat I yang menjalin hubungan baik dengan Belanda.

Dengan adanya hasutan Belanda, Sunan Amangkurat I memanggil Pangeran Seda Ing Gayam ke Mataram dengan alasan Pangeran Seda Ing Gayam telah menjalin hubungan baik dengan Banten. Pangeran Seda Ing Gayam pun datang memenuhi panggilan Sultan Amangkurat I dan tidak kembali lagi ke Cirebon selama 12 tahun yang pada akhirnya ia dikabarkan meninggal duniadi Mataram. Sepeninggalnya Pangeran Seda Ing Gayam di Mataram, putraputranya diangkat sebagai sultan di Cirebon. Memasuki tahun 1677 M, atas persetujuan sultan-sultan Cirebon dan Sultan Banten, keraton Cirebon dibagi menjadi dua, yaitu Sultan Samsudin Martawijaya menduduki Keraton Kasepuhan menjabat sebagai Sultan. Sepuh dan Sultan Badridin Kartawijaya sebagai Sultan Anom yang menduduki Keraton Kanoman yang dibangun pada tahun 1675 M. Dengan adanya dua keraton di Cirebon, kedudukan keraton Cirebon tidak sekuat semasa kekuasaan Sunan Gunung Jati ataupun semasa pemerintahan Panembahan Ratu. Cirebon menjadi sasaran empuk Belanda dalam merusak tatanan pemerintahan. Belanda yang mempunyai keinginan untuk menguasai Cirebon menjadi terbuka. Mimpi yang ditunggu-tunggu Belanda akhirnya terwujud. Setelah datangnya Yakup Bull dan Kapiten Misel Cirebon pecah dengan munculnya satu keraton lagi yaitu Keraton Kacirebonan.

Menurut penuturan Ringgo (seniman Topeng Cirebon), kehadiran Belanda ke Cirebon, membawa dampak psikologis pada masyarakat Cirebon dikarenakan Belanda telah ikut campur di segala bidang. Dengan adanya campur tangan Belanda tersebut, masyarakat tidak betah lagi untuk tinggal di lingkungan keraton, akibatnya sebagian masyarakat Cirebon pindah ke beberapa tempat disekitar Cirebon yang dianggap lebih aman. Kepindahan masyarakat tersebut juga diikuti oleh seniman-seniman Cirebon termasuk seniman Topeng yang selama itu hidup di lingkungan Keraton, Namun tahun yang pasti tentang kepindahan para seniman tersebut tidakdiketahui dengan jelas.

Setelah Tari Topeng menyebar ke luar Keraton Cirebon, seniman Topeng Cirebon merasa tergugah untuk melestarikan kembali Tari Topeng di Cirebon. Awal munculnya pemikirantersebut berkaitan dengan adanya pementasan Tari Topeng di Keraton Kasepuhan Cirebon pada saat pesta Sultan Sepuh Sultan Alexander. Adanya Tari Topeng Priangan telah mengundang simpati dan daya tarik para sultan, istri, serta kerabat keraton lainnya sehingga timbul pemikiran mereka untuk kembali melestarikan Tari Topeng di Cirebon.Pertunjukannya, diselenggarakan atas panggilan seseorang yang menginginkan hiburan dalam keperluan hajatan yangdiselenggarakan antara pukul 09.00 s.d. 16.00 dan malam harinya dari pukul 20.00 s.d. 04.00.

Kedatangan Belanda yang berakhir dengan melakukan pendudukan wilayah khususnya di Cirebon telah merusak ketentraman masyarakat Cirebon, hal itu berdampak pada para seniman Tari Topeng yang biasa tinggal di lingkungan istana. Mereka berpindah bersama masyarakat lainnya ke luar keraton dan menempati daerah di luar keraton, seperti Losari, Palimanan, Astanalanggar, maupun ke Gegesik. Para seniman yang telah keluar dari istana terus melestarikan Tari Topeng dan mengajarkannya kepada keturunannya dan pada masyarakat sekitar, sehingga Tari Topeng yang ada di daerah-daerah tersebut memberi nama yang disesuaikan dengan nama daerahnya seperti Topeng Losari, Topeng Palimanan, Topeng Astanalanggar, dan Topeng Gegesik.

Posting Komentar

0 Komentar